Dalam perjalanan ke berbagai tempat, selalu ada kisah
menari, hal-hal kecil yang selalu dikenang, entah lucu, menyedihkan, atau
mungkin memalukan.
Aku punya kisah yang (tampaknya) akan selalu kuingat dan
menjadi pelajaran dalam perjalanan ke mana pun nanti-nanti. Ini kejadiannya di
Jepang, waktu aku diundang liputan ke Jepang pada Desember 2011. Sudah hampir tiga tahun,
tapi masih membekas
dan aku masih bisa merasa-rasakan perasaannku pada waktu itu.
dan aku masih bisa merasa-rasakan perasaannku pada waktu itu.
Jadi ceritanya setelah perjalanan di Jepang berakhir, ketika
tiba di Narita teman dari Epson yang menemani kami bercerita bahwa ia selalu
menukarkan semua sisa uang yang ia miliki sebelum kembali ke Indonesia. Maka,
aku pun ingin mencobanya.
Biasanya, aku memang selalu menyisakan mata uang lokal. Selain
sebagai kenang-kenangan, biasanya repot juga menukarkannya. Apalagi kalau
berbentuk recehan atau uang logam. Tapi di Narita ini berbeda. Sebelum memasuki
imigrasi, ada tempat penukaran uang. Yang menjaga biasanya orang-orang tua.
Oya, ini cerita menarik dari Jepang. Jadi, katanya,
pemerintah berupaya memberdayakan orang-orang tua, bahkan mereka yang punya
kelemahan. Seperti di Epson, saat diajak berkeliling di pabriknya di Matsumoto,
kami bertemu dengan sejumlah karyawan yang punya kekurangan. Ada yang tidak
bisa berjalan sehingga mesti di kursi roda, ada juga yang mengalami
keterbelakangan, sehingga tidak mungkin disekolahkan tinggi-tinggi. Nah,
katanya pemerintah Jepang menetapkan bahwa sekian persen (aku lupa besarnya)
karyawan dari sebuah perusahaan harus mempekerjakan orang-orang sepertini ini.
Makanya, kantornya (dalam hal ini Epson) juga dirancang ramah terhadap
orang-orang seperti itu. Contohnya, di depan pintu yang bisa membuka sendiri
terdapat cermin di plafon sehingga orang yang naik kursi roda dapat melihat
kalau-kalau ada orang yang berkursi roda lainnya datang dari arah berbeda.
Yang menarik, nampan, gelas, dan piring di kafetaria
memiliki magnet sehingga kalau seseorang terpeleset, makanannya tidak sampai
jatuh berhamburan. Ini perlu bagi karyawan yang terbelakang. Ck.. ck.. ck..
dipikirkan sampai sebegitunya ya.
Sebelum ngelantur terlalu jauh, mari kembali ke bapak-bapak
tua penjaga money changer. Ia sangat ramah dan meminta aku mengeluarkan semua yen
yang ingin ditukar. Termasuk uang receh dalam pecahan-pecahan kecil. Ia lalu
menghitungnya dan mengatakan bahwa ia hanya bisa menukarkan ke dalam pecahan Rp
50 ribuan. Ya nggak apa-apa.
Setelah dihitung-hitung ternyata masih tersisa sejumlah
recehan yen yang kalau dikurskan barangkali tinggal sekitar Rp 20 ribuan. Ya sudah,
barangkali ini bisa aku simpan buat kenang-kenangan, karena nggak tahu kapan
bisa ke Jepang lagi.
Aku masih sempat berkeliling sebelum akhirnya menuju gate
untuk Garuda—seingatku termasuk yang paling ujung.
Nah, di depan gate Garuda ini, terdapat mini market yang
menjual minuman, snack, dan permen. Iseng-iseng aku mampir dan melihat-lihat,
bisa dibelikan apa sisa uang yen yang aku miliki. Aku hitung-hitung, sepertinya
masih bisa buat membeli satu minuman kaleng dan sebuah snackbar. Mestinya perhitunganku
tepat sehingga tidak ada receh yang tersisa.
Ternyata, ketika dihitung oleh kasir, total belanjaanku
masih kurang SATU YEN dari total receh yang aku miliki. Dengan enteng aku
bilang, ya sudah, snackbarnya nggak jadi. Tapi ternyata datanya sudah diinput
dan barangkali akan sangat merepotkan kalau harus dibatalkan. Dengan tatapan
bete, si mbak-mbak kasir Jepang itu mengangsurkan snackbar itu kepadaku dan
berujar, “You just take it.”
Serba salah juga. Mau ditolak gimana, tapi kalau diterima
tengsin juga. Sementara, teman-teman satu rombonganku kelihatannya masih
keluyuran, sehingga aku tidak bisa meminjam duit yang hanya perlu satu yen itu.
Di tas aku masih menyimpan dollar pecahan ratusan. Rasanya terlalu berlebihan
juga menukarkan lagi seratus dollar hanya untuk membayar satu yen ini.
Satu yen memang tidak banyak. Kalau dikurskan per hari ini
cuma Rp 117. Apa pun nggak dapat lagi. Tapi, dalam situasi ini benar-benar
mengganjal. Akhirnya aku mengambil snackbar tersebut dengan perasaan tidak
enak.
Tidak lama, datang teman-teman satu rombonganku dan
kebetulan pula ada bos Jababeka, Pak SD Dharmono, yang pernah aku wawancarai. Kami
langsung ramai ngobrol dengannya sehingga aku sejenak lupa dengan masalah satu
yen. Aku baru mengingatnya lagi setelah masuk ke dalam pesawat dan benar-benar
menyesal meninggalkan Jepang dengan meninggalkan utang satu yen.
Ah, mohon maaf sekali mbak, aku terpaksa merepotkanmu. Entah kapan aku bisa kembali ke Jepang untuk melunasi utangku. Dan, entah si mbak itu masih ada di situ...
1 comment:
lagi mencoba fitur komen di layout yang baru. enjoy...
Post a Comment