Sunday, September 14, 2014

Kisah tentang Satu Yen

Dalam perjalanan ke berbagai tempat, selalu ada kisah menari, hal-hal kecil yang selalu dikenang, entah lucu, menyedihkan, atau mungkin memalukan.

Aku punya kisah yang (tampaknya) akan selalu kuingat dan menjadi pelajaran dalam perjalanan ke mana pun nanti-nanti. Ini kejadiannya di Jepang, waktu aku diundang liputan ke Jepang pada Desember 2011. Sudah hampir tiga tahun, tapi masih membekas
dan aku masih bisa merasa-rasakan perasaannku pada waktu itu.

Jadi ceritanya setelah perjalanan di Jepang berakhir, ketika tiba di Narita teman dari Epson yang menemani kami bercerita bahwa ia selalu menukarkan semua sisa uang yang ia miliki sebelum kembali ke Indonesia. Maka, aku pun ingin mencobanya.

Biasanya, aku memang selalu menyisakan mata uang lokal. Selain sebagai kenang-kenangan, biasanya repot juga menukarkannya. Apalagi kalau berbentuk recehan atau uang logam. Tapi di Narita ini berbeda. Sebelum memasuki imigrasi, ada tempat penukaran uang. Yang menjaga biasanya orang-orang tua.

Oya, ini cerita menarik dari Jepang. Jadi, katanya, pemerintah berupaya memberdayakan orang-orang tua, bahkan mereka yang punya kelemahan. Seperti di Epson, saat diajak berkeliling di pabriknya di Matsumoto, kami bertemu dengan sejumlah karyawan yang punya kekurangan. Ada yang tidak bisa berjalan sehingga mesti di kursi roda, ada juga yang mengalami keterbelakangan, sehingga tidak mungkin disekolahkan tinggi-tinggi. Nah, katanya pemerintah Jepang menetapkan bahwa sekian persen (aku lupa besarnya) karyawan dari sebuah perusahaan harus mempekerjakan orang-orang sepertini ini. Makanya, kantornya (dalam hal ini Epson) juga dirancang ramah terhadap orang-orang seperti itu. Contohnya, di depan pintu yang bisa membuka sendiri terdapat cermin di plafon sehingga orang yang naik kursi roda dapat melihat kalau-kalau ada orang yang berkursi roda lainnya datang dari arah berbeda.

Yang menarik, nampan, gelas, dan piring di kafetaria memiliki magnet sehingga kalau seseorang terpeleset, makanannya tidak sampai jatuh berhamburan. Ini perlu bagi karyawan yang terbelakang. Ck.. ck.. ck.. dipikirkan sampai sebegitunya ya.

Sebelum ngelantur terlalu jauh, mari kembali ke bapak-bapak tua penjaga money changer. Ia sangat ramah dan meminta aku mengeluarkan semua yen yang ingin ditukar. Termasuk uang receh dalam pecahan-pecahan kecil. Ia lalu menghitungnya dan mengatakan bahwa ia hanya bisa menukarkan ke dalam pecahan Rp 50 ribuan. Ya nggak apa-apa.

Setelah dihitung-hitung ternyata masih tersisa sejumlah recehan yen yang kalau dikurskan barangkali tinggal sekitar Rp 20 ribuan. Ya sudah, barangkali ini bisa aku simpan buat kenang-kenangan, karena nggak tahu kapan bisa ke Jepang lagi.

Aku masih sempat berkeliling sebelum akhirnya menuju gate untuk Garuda—seingatku termasuk yang paling ujung.

Nah, di depan gate Garuda ini, terdapat mini market yang menjual minuman, snack, dan permen. Iseng-iseng aku mampir dan melihat-lihat, bisa dibelikan apa sisa uang yen yang aku miliki. Aku hitung-hitung, sepertinya masih bisa buat membeli satu minuman kaleng dan sebuah snackbar. Mestinya perhitunganku tepat sehingga tidak ada receh yang tersisa.

Ternyata, ketika dihitung oleh kasir, total belanjaanku masih kurang SATU YEN dari total receh yang aku miliki. Dengan enteng aku bilang, ya sudah, snackbarnya nggak jadi. Tapi ternyata datanya sudah diinput dan barangkali akan sangat merepotkan kalau harus dibatalkan. Dengan tatapan bete, si mbak-mbak kasir Jepang itu mengangsurkan snackbar itu kepadaku dan berujar, “You just take it.”
Serba salah juga. Mau ditolak gimana, tapi kalau diterima tengsin juga. Sementara, teman-teman satu rombonganku kelihatannya masih keluyuran, sehingga aku tidak bisa meminjam duit yang hanya perlu satu yen itu. Di tas aku masih menyimpan dollar pecahan ratusan. Rasanya terlalu berlebihan juga menukarkan lagi seratus dollar hanya untuk membayar satu yen ini.

Satu yen memang tidak banyak. Kalau dikurskan per hari ini cuma Rp 117. Apa pun nggak dapat lagi. Tapi, dalam situasi ini benar-benar mengganjal. Akhirnya aku mengambil snackbar tersebut dengan perasaan tidak enak.

Tidak lama, datang teman-teman satu rombonganku dan kebetulan pula ada bos Jababeka, Pak SD Dharmono, yang pernah aku wawancarai. Kami langsung ramai ngobrol dengannya sehingga aku sejenak lupa dengan masalah satu yen. Aku baru mengingatnya lagi setelah masuk ke dalam pesawat dan benar-benar menyesal meninggalkan Jepang dengan meninggalkan utang satu yen.

Ah, mohon maaf sekali mbak, aku terpaksa merepotkanmu. Entah kapan aku bisa kembali ke Jepang untuk melunasi utangku. Dan, entah si mbak itu masih ada di situ...

1 comment:

Unknown said...

lagi mencoba fitur komen di layout yang baru. enjoy...